Rabu, 20 Januari 2010

‘Kota Injil’, Fundamentalisme Kristen?

Keinginan Pemkab dan DPRD Manokwari menyusun rancangan peraturan daerah (raperda) pembinaan mental dan spiritual berbasis Injil menuai kritik dari banyak kalangan, termasuk Kristen. Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Dr. Richard M Daulay, mengatakan, sebuah kota haruslah terbuka dengan memberikan ruang publik yang luas. Tidak boleh ada perda yang hanya berlaku untuk satu etnis, agama, atau suku tertentu.

Ketua MUI, Umar Shihab, menyarankan agar Pemkab Manokwari mengganti istilah ‘Kota Injil’ yang berpotensi menimbulkan perpecahan karena daerah lain bisa menuntut hal serupa. Menurut Hidayat Nur wahid, jika rancangan peraturan daerah (raperda) di Manokwari itu disahkan, sehingga misalnya akan melarang pemakaian jilbab di tempat umum dan pendirian mesjid, maka itu berlebihan dan bisa memecah belah bangsa kita. Sementara itu, Ketua Dewan Syariah PBNU, KH Ma’ruf Amin mengemukakan pendapat yang lebih longgar. Ia menganggap reperda itu sah-sah saja, bahkan tidak berkeberatan dengan klausul larangan menggunakan pakaian yang mencerminkan simbol agama dan larangan pendirian tempat ibadah di dekat gereja. Namun, itu semua dengan syarat bahwa Manokwari harus menjadi kota khusus yang tertutup, tidak menjadi ibu kota Provinsi Irian Jaya Barat.

Sementara sejumlah pakar tata negara menganggap usulan dan rancangan tersebut tidak proporsional meskipun berasakan undang-undang otonomi daerah. Prof Eko Prasojo, Guru Besar FISIP Universitas Indonesia (UI), menilai upaya itu sebagai bentuk pelaksanaan otonomi daerah (Otda) yang kebablasan, sebagaimana dikutip Republika, (24/3).

Dari sisi lain, sebagian kalangan menilai mencuatnya usulan ini bisa ditafsirkan sebagai indikasi nyata bahwa fundamentalisme dan fanatisme tidak hanya terjadi dalam komunitas Muslim, tetapi juga berkembang dalam masyarakat Kristiani Fenomena ini sejak lama telah menjadi objek keprihatinan sejumlah tokoh dan intelektual Kristen yang rasional. Adakah ini memang pertanda maraknya Kristen fundamentalis yang berkarakter agresif dan anti-pluralitas?

Menurut Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat, gerakan fundamentalisme Kristen adalah gerakan yang sangat modern; mereka memanfaatkan teknologi modern untuk menyebarkan doktrin-doktrin dan visi-visi mereka ke seluruh dunia (internet, televisi satelit, televisi kabel, dan lain-lain.); mereka menerapkan ilmu manajemen modern untuk menggalang dana secara massif dan mengelola ekspansionisme gerakan dan organisasi mereka; mereka mempelajari dan menerapkan insights yang diperoleh dari kajian-kajian modern antropologi sosial-budaya untuk bisa masuk dan beradaptasi dengan suku-suku asing dan terasing di dunia demi upaya kristenisasi, melalui program dunia “evangelism explosion” mereka; mereka mempelajari peta politik, ekonomi, dan bahasa-bahasa penduduk lokal dalam wilayah negara-negara yang sudah masuk ke dalam daftar upaya tersebut; mereka membekali, melalui metode-metode modern, para “gerilyawan” mereka dengan keterampilan-keterampilan praktis-efektif untuk bisa masuk ke kawasan-kawasan “lawan” yang sedang menjadi target misi proselitisme mereka; mereka mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan modern untuk bisa berpolemik demi mempertahankan “keilmiahan” teks-teks Alkitab; dan lain sebagainya. Hal-hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah organisasi modern, yang dikelola secara profesional dan memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui sarana-sarana modern.

Setelah menggambarkan masa depan manusia yang terancam oleh bayang-bayang kemusnahan dan annihilation sebagai akibat dari fundamentalisme dalam Kristen, ia menghimbau gereja-gereja arus utama untuk mengenali lebih dalam fundamentalisme Kristen agar dapat disikapi. Lebih lanjut, ia menyebutkan sejumlah ciri khas fundamentalisme Kristren kontemporer dalam sebuah artikel panjang. Namun, yang paling menonjol adalah tiga ciri khas berikut:

Pertama, Kristen fundamentalis menganut ‘literalisme biblikal’. Para fundamentalis Kristen, dengan berpijak pada doktrin sesat “inerrancy of the Bible”, menekankan bahwa apa pun yang tertulis dalam Alkitab cukup diterima dengan iman saja, bahwa apa pun yang sudah ditulis di dalamnya adalah kebenaran mutlak yang melampaui segala zaman, berlaku kekal, berwibawa untuk segala tempat dan manusia. Jika seluruh pesan dalam Alkitab dilaksanakan secara literal, dalam dunia kita sekarang ini, maka menurut Rakhmat—mengingat Alkitab juga memuat pesan-pesan kekerasan—dunia akan senantiasa berada dalam bayang-bayang maut kehancuran semesta, seperti yang diinginkan para literalis biblikal fundamentalis Zionisme Kristen di Amerika Serikat, yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan politik luar negeri Amerika dan kemunculan fundamentalisme Kristen di berbagai belahan dunia.

Kedua, Kristen fundamentalis bermental triumfalistik ekspansionistik. Menurutnya, para penganut fundamentalisme Kristen memandang versi Kristen mereka sebagai versi agama yang paling unggul, paling benar, dan paling baik, jika dibandingkan dengan agama-agama lain non-Kristen dan versi-versi lain Kristen; dan, karena keunggulan ini, mereka memandang versi Kristen mereka sebagai ajaran yang harus disebarkan ke seluruh penjuru bumi, dengan mengeliminasi agama-agama lain non-Kristen dan menjadikan orang-orang non-Kristen bertobat dan melakukan konversi agama ke versi Kristen mereka. Mereka memiliki keyakinan bahwa pada akhirnya di dunia ini hanya akan ada agama tunggal yang benar, yang tampil sebagai sang pemenang tunggal, yakni agama Kristen fundamentalis.

Ketiga, Kristen fundamentalis berkolaborasi dengan kapitalisme Barat. Kalau gerakan-gerakan Islam militan di Indonesia sering dikaitkan dengan Saudi Arabia yang merupakan pusat wahabisme dan salafi, maka fundamentalisme Kristen di Indonesia berafiliasi dengan kapitalisme global yang berpusat di Inggris dan Amerika, yang menjadi penyuntik dana besar gerakan-gerakan Kristen yang mempunyai misi ekspansif di wilayah mana pun di dunia.

Keempat, gerakan fundamentalisme Kristen di Indonesia berlangsung tidak terbatas hanya di kalangan kelompok-kelompok mereka sendiri (yang berbentuk “inborn” atau melalui “conversion”) sebagai sub-sub kultur atau ghetto dalam kultur-kultur yang lebih besar, tetapi juga sudah dan sedang dengan agresif, lihai, dan tanpa nurani menyusup ke gereja-gereja arus utama yang anti-fundamentalisme. Mereka memakai strategi dan taktik penyebaran secara “diam-diam” (sebagai para gerilyawan religius yang umumnya diutus untuk menyusup ke kalangan muda gereja arus utama) atau secara “terang-terangan” ketika menemukan diri mereka sudah cukup kuat dan berakar di dalam organisasi-organisasi gereja-gereja arus utama—yakni ketika mereka sudah berhasil menempatkan atau bersahabat kental dengan para “pelayan” gereja yang kemudian (anehnya) terlibat secara penuh dalam gerakan fundamentalisme Kristen dan rela menjadi para warrior untuk memperjuangkan perluasan pengaruh kekuasaan dan teritori mereka.

Keenam, para penganut fundamentalisme Kristen dihinggapi suatu gejala mental eksesif, atau yang biasa disebut sebagai “narsisme radikal”—yakni rasa cinta diri dan maniak diri, yang sangat mendalam dan berlebihan dan membuta, baik terhadap apa yang mereka persepsikan sebagai kebenaran maupun terhadap ideologi-ideologi religius, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang sudah berhasil mereka bangun dan pertahankan.

Yang jelas, fundamentalisme, baik dalam Islam maupun Kristen, mesti disikapi dengan serius dan diantisipasi para tokoh kedua agama agar kekerasan yang merugikan bangsa ini tidak makin merembet ke daerah lain.

1 komentar: