Rabu, 20 Januari 2010

Tahlilan dan Doa Bersama Mengenang Gus Dur

Di tengah hujan rintik yang tak mau reda, beberapa orang sudah siap di aula Student Center Jakarta pada Sabtu malam, (09/08). Mereka duduk di hamparan karpet. Seorang mahasiswi maju ke depan, mengambil mic lalu membuka acara bertajuk Tahlil dan Doa Bersama Mengenang KH Abdurrahman Wahid: Visi Kebangsaan Gus Dur. Setelahnya, tahlil digelar. Tidak semarak tapi khusyuk-peserta terlambat datang karena cucuran air langit yang kurang bersahabat malam itu.
Tahlil selesai, para narasumber yang berdatangan datang. Mereka berturut-turut adalah Putu WIjaya, Rm Tjahyadi Nugroho, pemuka Khong Hu Cu Bingki Irawan, Rumadi, Roostien Ilyas, Sonia, dan Imdadun Rahmat. Sayangnya Asvi Warman Adam berhalangan datang. "Saudara iparnya ada yang sakit keras," jelas Abi, panitia, tentang intelektual yang sejarawan ini. Di sisi kiri dan kanan sudah mengapit moderator, Ahmad Makki dan Mansur al-Farisi. Berturut-turut mereka memberikan testimony di tengah hadirin yang terus menghambur, memenuhi hampir tiga perempat ruangan itu.
Roostin Ilyas mengagumi Gus Dur meskipun dalam sebuah perjumpaan yang singkat. Dalam kesempatannya menjadi pengurus PKB, meski hanya 6 bulan, ia merasakan kebesaran Gus Dur, terutama menghadapi hinaan dan cercaan. Waktu itu, sedang diadakan rapat pemenangan Pemilu. Di antara yang hadir dalam rapat tersebut adalah Fauzi Munir, dirinya sendiri, dan KH. Kholil Bisri (alm.), dan Gus Dur. Di tengah-tengah rapat, sebuah fax masuk. Lama sekali.
Setelah disambung-sambung, fax itu menunjukkan gambar yang mengejutkan. Di sana, ada kepala Gus Dur berkalung bendera Israel, dengan badan babi, dan di tubuh babi terdapat gambar Benny Moerdani, Megawati, dan Uskup Belo. Mereka bertiga kaget luar biasa. Tak mereka Cuma bisa kasak-kusuk supaya tidak kedengaran Gus Dur. Gus Dur memang tidak (mampu) melihat isi fax itu, tetapi Gus Dur tetap berhak diberitahu, karena gambar di fax itu menyangkut Gus Dur.
Fauzi Munir kemudian mengambil posisi itu, menjelaskan tentang fax itu langsung kepada Gus Dur. Dengan bahasa yang dibuat se-santun mungkin, Fauzi-seperti diceritakan Roostin-menjelaskan isi fax tersebut. Bukannya marah, Gus Dur malah tertawa. "Ya, badan saya memang gemuk, kalau digambarkan seperti cacing itu baru penghinaan," jelas Gus Dur tanpa beban, seperti dikiutip Roostin. Babi memang haram menurut Islam, kata Gus Dur, tetapi hukum tidak berlaku dalam rimba raya politik.
Tentang kalung Israel, Gus Dur juga tak emosi, sebab sulit disangkal jika ia dekat dengan George Soros. Dan memang Gus Dur ingin menjalin hubungan diplomatic Israel, semata-mata agar bisa lebih aktif memediasi konflik abadi Palestina-Israel. Ketiga orang itu-Benny Moerdani adalah sekutu dekat Pak Harto, Megawati adalah anak Bung Karno, dan Uskup Belo adalah peraih Nobel yang turut serta dalam referendum di Timor Timur-juga tidak menimbulkan amarah Gus Dur; mereka memang teman buat Gus Dur. Tidak masalah digambarkan di sana.
Bukan itu saja reaksi Gus Dur yang membuat Roostin terpana. Fa x itu ternyata diminta oleh Gus Dur untuk dfotokopi lalu disebarluaskan. "Fax itu difotokopi anak Forkot lalu dibagi-bagi," jelas Ketua Komisi Perlindungan Anak ini. Hadirin yang memadati aula Student Center pun tertawa.
Di akhir pembicaraannya, Roostin berharap semangat dan ajaran Gus Dur tentang penghormatan kepada golongan lain diteruskan.
Sonia, waria berjilbab, mengemukakan kekaguman yang sama dengan Gus Dur. Gus Dur pernah menjadi Dewan Pembina Waria. Bagi Gus Dur, sebagaimana dituturkan Sonia, waria adalah manusia yang berhak mendapat perlindungan di muka bumi ini dan di mata hukum. Ia manusia juga, sebagaimana halnya laki-laki dan perempuan. "Kalau al-Qur'an diturunkan sekarang, bukan hanya ada laki-laki dan perempuan, tapi juga ada waria," demikian joke Gus Dur seperti ditirukan Sonia. Begitu besar rasa kagum itu, Sonia menyatakan Gus Dur tidak wafat. "Gus Dur selalu hidup dalam hati saya," terangnya seperti terisak. Karena alasan inilah, ia tak pernah menyambangi kediaman Gus Dur, menemui Shinta Nuriyah atau sekedar berkirim pesan pendek kepada salah satu putrinya. Sonia seperti belum rela kehilangan idolanya itu.
Rumadi dari the WAHID Institute menyuguhkan sisi lain Gus Dur. Baginya, Gus Dur adalah orang yang membuat dirinya sebagai orang kampung, orang dusun, tidak modern memiliki kebanggaan karena identitasnya yang NU. Ketokohan Gus Dur, yang menjangkau seluruh kalangan dan juga dunia internasional, menghilangkan citra-citra miring kaum tradisionalis. Dari bibit yang disemai Gus Dur itu kini lahir para pemikir muda Islam yang progresif, sesuatu yang membuat seorang tokoh dari ormas Islam modern seperti setengah menyesal karena tidak masuk NU. "Dan karena itu kategori tradisional-modern perlu dikiritisi, tidak bisa seperti yang dikemukakan Deliar Noer dulu," jelas Rumadi menirukan Azyumardi Azra. Deliar Noer (w. 2008) di tahun 1990 pernah membuat buku bertajuk "Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942" yang diterbitkan oleh LP3ES yang menjadi rujukan klasik-klasik politik Islam di Indonesia. Term modern di buku ini tentu saja tidak mengacu kepada golongan tradisional NU.
Rumadi juga menceritakan pengalamannya di Jombang mengantar kepergian guru bangsa itu. Di sepanjang jalan, sejak dari bandara, tak putus orang berdiri di tepi jalan melambai menghormati mobil yang mengangkut jenazah Gus Dur. Beberapa yang membawa mobil pun menyempatkan diri keluar untuk memberi penghormatan kepada almarhum. Antrian penghormatan itu makin parah memasuki kawasan Pesantren Tebuireng. Penghormatan itu membuatnya menarik kesimpulan; bahwa Gus Dur adalah orang baik. "Saya teringat kata orang tua dulu, bahwa baik tidaknya orang dapat dilihat waktu dia meninggal," jelas Koordinator Program the WAHID Institute. Ketika banyak orang bersedih dengan kematian seseorang, maka mereka berbondong-bondong datang memberikan penghormatan, itulah orang yang baik. Sebaliknya dengan orang yang tidak baik. Rumadi meyakini bahwa ekspresi Gus Dur juga merupakan cara beragama yang benar. Bahwa, dengan berIslam justru membuat orang yang beragama lain terlindungi dan saling menghormati. Inilah yang mesti diteruskan orang-orang sepeninggal Gus Dur.
Selain itu, dosen fakultas Syari'ah UIN Jakarta ini mengajak para hadirin untuk bersyukur. "Kita bersyukur satu zaman dengan orang seperti Gus Dur yang belum tentu ada seratus tahun lagi," tandasnya. Toh, begitu bukan berarti kita harus mencari pengganti Gus Dur karena Gus Dur tak akan tergantikan dan tidak akan ada tiruan Gus Dur di dunia ini.
Anak ideologis Gus Dur lain yang turut memberikan testimony adalah Imdadun Rahmat. Mantan aktivis Lakpesdam NU ini mengaku bimbang ketika masih berkuliah di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab). Di masa perkuliahannya, dia diperintahkan dosennya agar tidak mematuhi kyai dan pemerintagh Indoesia-maklum saja, lembaga pendidikan ini didanai oleh pemerintahan Arab Saudi yang Wahabi. "Jangan percaya kyai-kyai sebab mereka ahli bid'ah dan jangan percaya pemerintahan Indonesia, sebab Indonesia negara kafir," rincinya menirukan sang dosen. Yang merupakan negara kafir Tapi ia menemukan pencerahan ketika tulisan tentang ke-Islam-an dan kebangsaan. Tulisan Gus Dur itulah yang menginspirasinya untuk menjadi pejuang pluralisme sekarang ini.
Seniman besar, Putu Wijaya, turut serta memberikan testimoni. Putu amat berkesan melihat antusiasme masyarakat ke Ciganjur untuk memberikan penghormatan terakhir kepada presiden RI keempat itu. "Mereka berpakaian bersih, seperti hendak menemui raja," katanya. Selain itu, untuk pertama kalinya, ia menemui polisi yang ramah-padahal mereka biasanya garang, menilang sepeda motor. Wajah mereka ramah mengatur orang dan kendaraan yang hilir mudik menuju rumah duka.
Antuasiasme masyarakat, menurut Putu, menunjukkan bahwa Gus Dur adalah sosok istimewa; ia bukan orang biasa. ia adalah pemimpin besar, yang berbeda dari pemimpin biasa. Pemimpin lazimnya mampu menggerakkan emosional massa ketika masih hidup. Tapi Gus Dur, sepeninggalnya, justru mengunggah semangat banyak orang untuk berubah, untuk meneladani ajaran-ajarannya. Sayangnya, orang terlambat menyadari kebesaran Gus Dur. Gus Dur dianggap besar setelah ia tak lagi bernyawa.
Dari ajaran Gus Dur ia terkesan dengan pembedaan Gus Dur akan persatuan dan kesatuan. Yang diperlukan adalah kesatuan. "Persatuan dilakukan dengan paksa, termasuk dengan menggunakan kekerasan," jelasnya menirukan Gus Dur. Persatuan bahkan menghilangkan perbedaan yang menjadi cirri khas masing-masing golongan. Kesatuan membiarkan perbedaan tetap ada dalam satu wadah tempat berhimpun.
Wahyu Muryadi menceritakan pengalamannya selama bertugas sebagai Kepala Protokoler Istana ketika Gus Dur menjabat presiden. Pemuka Khonghucu, yang merupakan pengurus Matakin, menceritakan pengalamannya ketika diajak mengunjungi pesantren. Rm. Tjahjadi, yang cukup sering menemani Gus Dur, berkisah tentang janjinya yang tak terpenuhi kepada almarhum. Ia diminta segera pulang dari Salatiga, Tjahjadi tak menurut, dan kini ia hanya dapat menemui peraduan Gus Dur yang terakhir.
Acara yang diselenggarakan oleh Lisan (Lingkar Studi untuk Negeri)-gabungan dari beberepa forum studi Mahakam, IPS, Forum Studi Makar, Piramida Circle, Forum Kopi, Logos, Senjakala, elkis Sawangan, el Kaffi, dan Sensazi-bekerja sama dengan BEMJ PPI (Pemikiran Politik Islam) dan BEMF Ekonomi ini juga dimeriahkan dengan penampilan elkis Sawangan menembangkan lagu yang diciptakan Mansur al-Farisi khusus untuk mengenang Gus Dur: "Bertarung dengan Waktu". Selamat jalan, Gus. Ajaranmu akan kami teruskan (NN).

3 komentar: